“Merantau” sesungguhnya tak bisa dipisahkan dari Minangkabau. Asal usul kata “merantau” itu sendiri berasal dari bahasa dan budaya Minangkabau yaitu “rantau”. Rantau pada awalnya bermakna : wilayah wilayah yang berada di luar wilayah inti Minangkabau, tempat awal mula peradaban Minangkabau periode terakhir sebelum zaman modern. Peradaban Minangkabau mengalami beberapa periode atau pasang surut. Wilayah inti itu disebut “darek” (darat) atau Luhak nan Tigo. Aktifitas orang orang dari wilayah inti ke wilayah luar disebut “marantau” atau pergi ke wilayah rantau.
Lama kelamaan wilayah rantau pun jadi wilayah Minangkabau. Akhirnya wilayah rantau menjadi semakin jauh dan luas, bahkan di zaman modern sekarang ini wilayah rantau orang Minangkabau bisa disebut di seluruh dunia, walaupun wilayah tersebut tak akan mungkin masuk kategori wilayah Minangkabau namun tetap disebut “rantau”. Filosofi dan tujuan “merantau” orang Minang berbeda dengan imigrasi, urbanisasi, atau transmigrasi yang dilakukan kelompok lain.
Banyak orang dari berbagai suku atau etnis yang merantau, di antaranya yang fenomenal adalah kaum Minangkabau. Seorang laki laki Minangkabau saat menginjak usia dewasa muda (20-30 tahun) sudah didorong pergi merantau oleh kultur / budaya adat Minangkabau yang dianut suku tersebut sejak dulu kala, entah kapan bermulanya tak bisa diketahui secara pasti. Tapi setidaknya berdasarkan sejarah yang masih bisa ditelusuri sekitar abad ke 7 orang orang atau pedagang Minangkabau berperan besar dalam pendirian kerajaanMelayu di wilayah Jambi sekarang yang pada zamannya berada pada posisi yang strategis dalam perdagangan di Selat Malaka atau Asia Tenggara umumnya.
Masyarakat Minangkabau dikenal punya tradisi merantau yang kuat. Mereka telah mengembara ke wilayah Asia Tenggara lainnya sejak berabad abad yang lalu. Keturunan mereka sampai saat ini masih ada bahkan berkembang di banyak tempat seperti Aceh, Riau, Sumatera Utara, Jambi, Bengkulu, Lampung atau wilayah Sumatera lainnya dan juga di Jawa,Sulawesi, Kalimantan, Nusa Tenggara, Malaysia, Singapura, Brunei, Filipina Selatan, dan lain lain.
Suku Aneuk Jamee di Aceh adalah masyarakat keturunan Minangkabau yang nenek moyang mereka telah merantau dari Ranah Minang sejak berabad abad yang lalu. Cut Nyak Dhien dan Teuku Umar yang dikenal sebagai pejuang gigih dan dianugerahi gelar pahlawan nasional oleh pemerintah Indonesia adalah anak dan keponakan dari Nanta Setia seorang Uleebalang VI Mukim, keturunan seorang perantau Minang yang juga jadi uleebalang di Kesultanan Aceh pada abad ke 18. Dengan dukungan raja PagaruyungMinangkabau, pada abad ke 15 perantau Minangkabau sudah mulai bermukim di Negeri Sembilan semenanjung Malaya. Komunitas keturunan perantau Minangkabau di Negeri Sembilan yang populasinya cukup banyak akhirnya menjadi sebuah kerajaan dengan raja pertamanya Raja Melewar yang diutus langsung dari Pagaruyung Minangkabau. Pada pertengahan abad ke 20 seorang Raja Negeri Sembilan yang keturunan Minangkabau Tuanku Abdul Rahman diangkat menjadi raja Malaysia pertama dengan gelar Yang di-Pertuan Agong.
Empat orang putera raja Pagaruyung Minangkabau mengembara / merantau ke selatan dan mendirikan Kepaksian Sekala Brak di wilayah Lampung sekarang. Di Mindanao Selatan (Filipina) keturunan perantau Minangkabau dari ratusan tahun yang lalu masih ada sampai saat ini. Gelar bangsawan mereka “Ampatuan” yang berasal dari Pagaruyung / Minangkabau (Ampu Tuan) masih mereka pakai sampai sekarang. Di Sulawesi Selatan keturunan Datuk Makotta Minangkabau sudah menjadi bagian tak terpisahkan dari masyarakat Bugis-Makassar sejak ratusan tahun yang lalu. Di pesisir barat Sumatera Utara mulai dari Natal sampai Sibolga, Sorkam dan Barus keturunan Minangkabau telah bertransformasi dan telah berubah nama menjadi “Orang Pesisir”. Dahulunya nenek moyang mereka berasal dari wilayah Painan, Padang dan Pariaman. Sampai sekarang bahasa mereka hampir tak ada bedanya dengan bahasa Minangkabau. Saat masa jayanya Bandar Malaka pada abad ke 15 di semenanjung Malaya, di wilayah Batu Bara dan AsahanSumatera Utara dulunya banyak bermukim komunitas Minangkabau dan menerapkan sistim adat Minangkabau yang matrilineal sebelum berubah jadi patrilineal atas desakanSultan Deli. Saat ini keturunan Minangkabau tersebut telah lebur kedalam masyarakat Melayu pesisir timur Sumatera Utara.
Tidak hanya di Negeri Sembilan perantau Minangkabau mendirikan kerajaan, pada akhir abad ke 14 seorang perantau Minang lainnya Raja Bagindo juga mendirikan Kesultanan Sulu di Filipina Selatan. Awang Alak Betatar pendiri Kesultanan Brunei konon berasal dari Minangkabau juga, bahkan saat acara peresmian replika Istana Pagaruyung di tahun 80 an Sultan Brunei Hassanal Bolkiah juga ikut hadir dan sempat mengatakan bahwa leluhurnya berasal dari Pagaruyung Minangkabau. Kalau ditelusuri lebih jauh lagi ke belakang, sebuah peninggalan sejarah dari abad ke 7 masehi yaitu prasasti Kedukan Bukit di Palembang menyatakan bahwa Kerajaan Sriwijaya didirikan oleh Dapunta Hyang setelah bertolak dari Minanga Tamwan dengan membawa bala tentara sebanyak 20.000 orang. Ada ahli sejarah yang berpendapat bahwa Minanga Tamwan zaman kuno yang berpusat di hulu sungai Batang Hari atau di hulu sungai Kampar itu adalah Minangkabau sekarang.
Mengenai hal ini memang masih belum ada kesamaan pendapat di antara para ahli sejarah, ada yang berpendapat Dapunta Hyang bertolak dari Minanga Tamwan kearah selatan, lalu mendirikan wanua (kerajaan Sriwijaya) setelah menemukan tempat yang dianggap tepat. Sedangkan ahli yang lain berpendapat Minanga Tamwan adalah kerajaan taklukan Dapunta Hyang. Tidak tertutup kemungkinan bahwa pendapat yang pertama dari para ahli sejarah tersebut benar adanya mengingat prestasi yang dicapai orang orang Minangkabau dalam petualangan perantauannya baik dimasa lalu maupun dimasa kini.
Selain perantauan yang bersifat kolektif dan agak masif yang kemudian hari menjadi suatu komunitas bahkan kerajaan, juga ada perantau individual yang merantau ke wilayah yang tidak lazim dijadikan tujuan perantauan orang Minang pada masa itu. Selain Datuk Makotta Minangkabau juga ada tiga orang Datuk yang ulama yaitu Datuk Ri Bandang, Datuk Ri Pattimang, Datuk Ri Tiro merantau ke wilayah timur dan menyebarkan agama Islam di wilayah Sulawesi dan Nusa Tenggara pada awal abad ke 17. Sampai saat ini masyarakat setempat tetap mengenang jasa jasa mereka. Di beberapa wilayah Kalimantan Timur dan Sulawesi Tengah, Tuan Tunggang Parangan dan Datuk Karama dikenang masyarakat setempat sebagai pembawa ajaran Islam kedaerah itu.
Di bidang kemiliteran tiga laki laki Minang merantau jauh sampai ke Turki dan menjadi bagian dari pasukan Janissary Turkiyang terkenal hebat pada masanya yaitu awal abad ke 19. Kolonel H. Piobang seorang perwira kavaleri dipercaya menjadi panglima pasukan yang berhasil mengalahkan salah satu pasukan Napoleon dalam perang Piramid di Mesir. Perwira lainnya Mayor H. Sumanik menjadi ahli perang padang pasir bersama H. Miskin. Dikemudian hari setelah pulang dari perantauan ke Ranah Minang ketiga anggota pasukan Janissary Turki itu berperan besar sebagai pendiri pasukan militer dalam perang Padri.
Sebagian besar dari tokoh tokoh Indonesia dari Minang yang berpengaruh adalah produk “perantauan”. Bangsa Indonesia tentu tak akan pernah lupa dengan jasa jasa para pejuang dan pahlawan negara ini yang berasal dari Minangkabau seperti Tan Malaka, Mohammad Hatta, dan Sjahrir yang dianggap tokoh Indonesia paling penting bersama Soekarno danJenderal Soedirman dalam perjuangan kemerdekaan bangsa ini. Selain ketiga tokoh tersebut tentu masih banyak tokoh produk perantauan lainnya seperti Mohammad Natsir yang pernah menjabat sebagai Presiden Liga Muslim se Dunia dan perdana menteri Indonesia, Mohammad Yamin yang jadi pelopor Sumpah Pemuda pada tahun 1928, juga Agus Salimyang jadi diplomat ulung, bahkan seorang presiden yang di(ter)lupakan Assaat. Di bidang agama Minang perantauan juga melahirkan ulama ulama besar seperti Ahmad Khatib Al-Minangkabawi orang non Arab pertama yang jadi Imam Besar di Masjidil Haram Mekkah dan Hamka yang dihormati dan dikagumi tidak hanya oleh umat muslim Indonesia tapi juga umat muslim di negara negara Asia Tenggara lainnya. Di bidang sastra juga lahir dua orang pionir yaitu Chairil Anwar pelopor Angkatan ’45 dan Sutan Takdir Alisjahbanapelopor Pujangga Baru, sementara Usmar Ismail dikemudian hari digelari Bapak Film Indonesia, dan banyak lagi yang lainnya.
Semua tokoh tokoh besar tersebut adalah produk “perantauan”. Pencapaian yang tinggi oleh perantau perantau itu akhirnya menimbulkan pertanyaan, apakah tujuan dan filosofi orang orang Minang dalam “merantau”. Tidak mudah memahami tujuan dan filosofi itu melalui artikel yang pendek ini. Secara sederhana bisa direnungkan makna dari sebuah pepatah bijak Minangkabau yaitu Iduik bajaso, mati bapusako (Hidup berjasa, mati berpusaka) yang berarti selagi hidup harus memberi jasa agar setelah mati meninggalkan pusaka (warisan nama baik) yang bisa dikenang sepanjang masa. Untuk memahami lebih dalam lagi filosofi dan tujuan “merantau” orang Minang perlu dibaca karya dari antropolog dan sosiolog ternama Mochtar Naim dalam bukunya “Merantau”.
Orang orang Minangkabau merantau dengan hati dan pikiran terbuka serta imajinasi yang tinggi. Antropolog Mochtar Naim berpendapat bahwa disamping merantau dan berdagang, pola hidup masyarakat Minangkabau yang sangat menonjol adalah suka berpikir dan menelaah. Kebiasaan positif tersebut pada akhirnya menghasilkan para pemikir dan tokoh tokoh berpengaruh di nusantara ini.
Mereka adalah manusia manusia yang tak cepat berpuas diri, mereka akan menggapai apapun setinggi mungkin. Kemampuan dan keberanian menjelajah dunia lain yang berbeda dengan kampung halaman mereka telah menjadikan kaum itu sebagai perantau ulung yang tercatat dalam sejarah bangsa bangsa nusantara. Salah satu falsafah hidup mereka yang paling penting yaitu Alam Takambang Jadi Guru ikut berperan dalam kemampuan mereka beradaptasi dengan alam yang berbeda dengan alam Minangkabau, kampung halaman yang tak pernah mereka lupakan sejauh apapun mereka merantau.
Kebiasaan merantau juga berfungsi sebagai suatu perjalanan spiritual dan batu ujian bagi kaum lelaki Minangkabau dalam menjalani kehidupan. Pada masa lalu kaum lelaki Minangkabau yang biasanya telah menguasai ilmu beladiri silat untuk menjaga diri, berangkat pergi merantau dari kampung ketempat yang jauh hanya berbekal seadanya, bahkan tak jarang tanpa bekal sama sekali. Kehidupan yang keras, jauh dari sanak saudara dan kampung halaman diharapkan menjadi cobaan untuk menempa jiwa, kegigihan, dan keuletan si lelaki Minang dalam meningkatkan derajat kehidupannya.
Pada masa sekarang, dalam periode di negeri orang inilah orang Minang yang merantau mencari bidang kehidupan yang mereka minati. Bagi yang ingin berniaga atau wiraswasta mereka memilih menjadi pedagang. Banyak bidang usaha yang bisa mereka geluti seperti berdagang di pasar, mengelola usaha angkutan, usaha percetakan, penjahit pakaian, usaha rumah makan atau restoran Padang dan banyak lagi yang lain. Karena didorong oleh jiwa merdeka, sedikit di antara mereka yang merantau untuk mencari pekerjaan sebagai orang gajian.
Bagi yang bertujuan menimba ilmu merekapun masuk sekolah sekolah yang baik. Tak jarang mereka dijadikan pemimpin di komunitas perguruan tersebut. Banyak di antara mereka menjadi orang besar dikemudian hari, baik sebagai tokoh pengusaha, politisi, dokter, ilmuwan, birokrat, seniman, profesional, ulama, militer dan polisi, dan lain lain.
Bila keadaannya dianggap sudah cukup mapan atau sukses setelah jangka waktu tertentu, maka barulah ia akan pulang ke kampung halamannya yang telah lama ditinggalkan. Tidak jarang pula para perantau ini lalu berkeluarga, dan akhirnya menetap di perantauan. Bagi orang Minangkabau, fenomena ini disebut “Marantau Cino” atau merantau selamanya dan tak kembali lagi.
Suatu masalah yang belum banyak dikaji tentang para perantau Minang masa kini adalah mengenai perubahan sistem nilai serta kehidupan sosial mereka. Secara umum terdapat kesan bahwa para perantau Minang masih tetap menganut agama Islam dengan taat, akan tetapi dalam hubungan sosialnya sudah mulai kurang menggunakan warisan adat tradisional seperti “buah paruik”, “kaum” atau “suku”, dan lebih banyak berhimpun dalam satuan nagari asal.
Salah satu perhimpunan warga Minang yang paling terkenal dan terorganisasi dengan baik adalah Sulit Air Sepakat atau SAS. Sulit Air Sepakat atau SAS punya kantor perwakilan di banyak kota besar di Indonesia dan beberapa di luar negeri seperti Malaysia, Singapura, Jepang, Amerika Serikat, Australia, Inggris, dan lain lain.
Adalah menarik perhatian, bahwa pada umumnya para perantau Minang ini mampu menyesuaikan diri dengan adat istiadat serta kebudayaan daerah rantaunya, yang antara lain terlihat pada hampir tidak pernahnya terjadi konflik dengan masyarakat tempatan yang menjadi tuan rumahnya. Mungkin sekali hal ini disebabkan oleh pepatah bijak Minangkabau yang berbunyi: Dimano bumi dipijak, disitu langik dijunjuang yang bermakna menghargai kultur dan budaya setempat tanpa harus kehilangan kultur dan budaya sendiri.
Saat ini diperkirakan lebih dari setengah jumlah warga suku Minangkabau hidup dan berkembang di wilayah perantauan baik di Indonesia maupun mancanegara, perkiraan itupun tidak memasukkan keturunan Minangkabau yang telah merantau dan berkembang sejak sekurangnya 1000 tahun yang lalu diberbagai wilayah di nusantara atau bahkan dunia pada masa modern ini. Banyak di antara keturunan mereka telah bertransformasi menjadi orang “Minang Baru” atau bahkan suku suku baru seperti “Aneuk Jamee” di Aceh, “Orang Pesisir” di pantai barat Sumatera Utara, “Oghang Nogoghi” di Negeri Sembilan, dan entah apa lagi namanya di wilayah wilayah lain yang sudah lama terputus tali sejarah dan tali persaudaraannya dengan Minangkabau. Bahkan terbetik berita tentang keturunan Pagaruyung Minangkabau yang “terdampar” di pedalaman Kalimantan Barat di sebuah negeri bernama Kudangan, yang oleh masyarakat setempat diakui sebagai leluhur mereka.
Perantau Minangkabau yang fenomenal telah melahirkan suku suku baru di nusantara ini, dan ini adalah sesuatu yang alami dalam dinamika kehidupan alam. Banyak di antara mereka yang tak mengenal lagi kampung halaman nenek moyang mereka yang hebat, yang jauh di pedalaman Sumatera bagian tengah, di dataran tinggi bergunung gunung gagah yang memberi hawa sejuk dan di lembah berdanau danau indah yang pinggirannya jadi tepian mandi sejak dulu kala sampai masa kini.
0 Response to "BANGGALAH JADI PERANTAU MINANG"
Posting Komentar